Ikhlas adalah inti dari segala amal ibadah seorang Muslim. Dalam setiap perjuangan, baik yang ringan maupun berat, keikhlasan menentukan nilainya di sisi Allah ﷻ. Tanpa ikhlas, amal hanya sebatas aktivitas jasmani yang kosong makna. Allah ﷻ menegaskan:
﴿وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ﴾
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Islam mengajarkan bahwa nilai suatu amal tidak terletak pada besarnya, melainkan pada niat yang mendasarinya. Rasulullāh ﷺ bersabda:
«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ»
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.” (HR. Bukhari & Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa perjuangan apapun, sekecil apa pun, bila dilandasi ikhlas, akan bernilai tinggi di sisi Allah.
Ikhlas menjadikan seorang hamba menemukan kenikmatan dalam proses berjuang. Kesulitan terasa ringan, keletihan menjadi ladang pahala, dan ujian berubah menjadi tanda cinta Allah. Inilah nikmat yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang jujur dalam penghambaan.
Ibnul Qayyim rahimahullāh menegaskan: “Ikhlas itu bagaikan ruh bagi amal. Tanpa ruh, amal hanyalah jasad tanpa kehidupan.” (Ibnul Qayyim, 1999). Dengan demikian, perjuangan tanpa ikhlas hanyalah kesia-siaan, sedangkan perjuangan dengan ikhlas akan menjadi ibadah abadi.
Ilmu psikologi modern menyinggung makna yang dekat dengan ikhlas, yakni intrinsic motivation (motivasi intrinsik). Menurut Deci & Ryan (2000), orang yang didorong oleh motivasi intrinsik akan tetap bersemangat dan bahagia meski menghadapi kesulitan. Ini sejalan dengan konsep ikhlas dalam Islam, yaitu beramal semata-mata karena Allah.
Kesulitan dalam perjuangan hidup seringkali tak terhindarkan. Namun, seorang mukmin meyakini janji Allah:
﴿إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا﴾
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 6).
Keyakinan ini membuatnya merasakan nikmat di balik ujian ketika hati terjaga dengan ikhlas.
Nikmat dalam perjuangan bukan berarti hilangnya rasa sakit. Justru rasa sakit itulah bukti adanya perjuangan. Seperti atlet yang merasakan nyeri saat berlatih, seorang mukmin juga merasakan beratnya mujahadah. Namun, dengan ikhlas, rasa sakit itu terasa manis karena yakin Allah menjadi tujuan.
Rasulullāh ﷺ bersabda:
«مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ أَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ»
“Barang siapa mencintai perjumpaan dengan Allah, maka Allah pun mencintai perjumpaan dengannya.” (HR. Bukhari & Muslim).
Hadis ini menggambarkan bahwa ikhlas menumbuhkan kerinduan kepada Allah, menjadikan perjuangan hidup terasa indah.
Ikhlas juga membangun solidaritas sosial. Orang yang ikhlas tidak mencari pengakuan, sehingga lebih mudah bekerja sama dan menjaga ukhuwah. Inilah yang menjadi kekuatan umat Islam sejak masa sahabat, ketika mereka berjuang bersama demi ridha Allah.
Penelitian Emmons & McCullough (2003) menemukan bahwa ketulusan dan rasa syukur membuat individu lebih tangguh menghadapi stres. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam bahwa ikhlas melahirkan ketenangan batin dan ketahanan mental.
Penelitian terbaru oleh Chizanah & Hadjam (2024) menunjukkan empat dimensi ikhlas: motivasi transenden, kontrol emosional, perasaan keunggulan, dan kesadaran sebagai hamba. Temuan ini menegaskan bahwa ikhlas adalah konstruksi psikologis yang kaya dan mendalam.
Ahmad, Rofiah, & Tamam (2024) membandingkan nilai keikhlasan dalam Al-Qur’an dengan teori self-determination. Hasilnya menunjukkan bahwa ikhlas bukan hanya nilai spiritual, melainkan juga fondasi etos kerja yang kuat. Inilah sebabnya seorang Muslim yang ikhlas tidak mudah menyerah dalam perjuangan.
Afandi & Pranajaya (2024) juga menegaskan bahwa ikhlas, bersama sabar, syukur, dan tawadhu’, berkontribusi signifikan terhadap kesejahteraan psikologis siswa multikultural. Artinya, ikhlas tidak hanya bernilai religius, tetapi juga meningkatkan kesehatan mental manusia modern.
Aulia, Asbari, Yuliani, & Nurmayanti (2023) dalam penelitiannya mengenai Quantum Ikhlas menekankan bahwa ikhlas adalah energi positif yang mampu menyeimbangkan hidup. Konsep ini membuktikan bahwa ikhlas bisa menjadi sumber kebahagiaan dan ketenangan di tengah perjuangan.
Rahmania (2024) menegaskan bahwa ikhlas adalah salah satu faktor penting dalam mendukung kesehatan mental. Orang yang ikhlas lebih mampu menerima takdir, lebih sabar menghadapi masalah, dan lebih bahagia dalam hidupnya. Ini semakin memperkuat bahwa ikhlas adalah kunci nikmat dalam perjuangan.
Para sahabat Rasul ﷺ adalah teladan nyata ikhlas dalam perjuangan. Mereka berkorban harta dan jiwa, bukan demi dunia, tetapi demi ridha Allah. Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu berkata: “Amal yang paling ikhlas pun butuh mujahadah untuk menjaganya dari riya.”
Ikhlas melahirkan purpose-driven work dalam istilah modern. Seorang pekerja ikhlas bekerja bukan sekadar untuk gaji, tetapi untuk memberi nafkah halal. Seorang pelajar ikhlas menuntut ilmu bukan sekadar nilai, tetapi untuk manfaat yang luas. Keduanya merasakan kebahagiaan yang tidak bisa dibeli dengan dunia.
Akhirnya, ikhlas adalah kunci menemukan nikmat dalam perjuangan. Dengan ikhlas, kesulitan menjadi ringan, kelelahan menjadi ibadah, dan proses menjadi indah. Inilah rahasia hidup yang menenangkan hati, meneguhkan langkah, dan mengantarkan seorang Muslim pada cinta Allah ﷻ.
Daftar Pustaka (APA Style)
- Ahmad, N. H., Rofiah, N., & Tamam, B. (2024). Nilai-nilai keikhlasan dalam Al-Qur’an untuk pengembangan etos kerja: Perbandingan dengan teori self-determination. Al Furqan: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, 7(2), 300–316. https://doi.org/10.58518/alfurqon.v7i2.2865
- Afandi, N. K., & Pranajaya, S. A. (2024). The influence of sabar, ikhlas, syukur, and tawadhu’ on psychological well-being of multicultural students in East Kalimantan. Dinamika Ilmu, 23(1). https://doi.org/10.21093/di.v23i1.6383
- Aulia, N., Asbari, M., Yuliani, D., & Nurmayanti, R. (2023). Quantum Ikhlas: Membongkar rahasia keseimbangan hidup dan kebahagiaan. Literaksi: Jurnal Manajemen Pendidikan, 2(2), 86–91. https://doi.org/10.70508/literaksi.v2i02.541
- Chizanah, L., & Hadjam, M. N. R. (2024). Validitas konstruk ikhlas: Analisis faktor eksploratori terhadap instrumen skala ikhlas. Jurnal Psikologi, 51(2), 120–230. https://doi.org/10.22146/jpsi.7653
- Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “What” and “Why” of Goal Pursuits: Human Needs and the Self-Determination of Behavior. Psychological Inquiry, 11(4), 227–268.
- Emmons, R. A., & McCullough, M. E. (2003). Counting Blessings Versus Burdens: An Experimental Investigation of Gratitude and Subjective Well-Being in Daily Life. Journal of Personality and Social Psychology, 84(2), 377–389.
- Ibnul Qayyim al-Jauziyyah. (1999). Madarij as-Salikin. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
- Muslim, I. H. (2006). Shahih Muslim. Riyadh: Darussalam.
- Rahmania, F. A. (2024). Peran ikhlas sebagai salah satu faktor pendukung kesehatan mental. Jurnal Psikologi Islam.
- Al-Qur’an al-Karim.
- Al-Bukhari, M. I. (2002). Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar Ibn Katsir.
- Ibnu Majah, M. Q. (2009). Sunan Ibnu Majah. Kairo: Dar al-Hadits.
