Di tengah hiruk pikuk kehidupan dunia modern yang penuh dengan ambisi, kompetisi, dan ekspektasi material, zuhud hadir sebagai oase bagi jiwa yang haus akan ketenangan. Zuhud bukanlah menjauhi dunia sepenuhnya, melainkan menempatkan dunia di tangan, bukan di hati. Inilah seni hidup sederhana, namun penuh dengan keluhuran iman dan kedekatan spiritual kepada Allah Subḥānahu wa Taʿālā.
Zuhud secara bahasa berarti meninggalkan sesuatu. Secara istilah syar’i, para ulama mendefinisikannya sebagai sikap meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi akhirat, walaupun ia halal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullāh berkata:
“Zuhud bukan berarti kamu tidak memiliki harta, tetapi zuhud adalah ketika hatimu tidak bergantung padanya.”
(Majmū’ al-Fatāwā, 10/82)
Allah Taʿālā memuji orang-orang yang zuhud dan menjanjikan balasan yang besar bagi mereka. Firman-Nya:
لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ
“Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”
(QS. Al-Hadid: 23)
Zuhud menjadi jalan menuju khusyu’, karena ia membebaskan hati dari ikatan dunia. Hati yang dipenuhi cinta dunia sulit merasakan kelezatan ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda:
ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ
“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia pun mencintaimu.”
(HR. Ibnu Majah, No. 4102)
Khusyu’ adalah buah dari zuhud. Saat seseorang mengurangi keterikatan pada dunia, ia akan lebih mampu menghadirkan hatinya di hadapan Allah dalam salat dan doa. Ia menjadi lebih peka terhadap bisikan akhirat, dan lebih mudah menangis dalam munajat.
Imam Al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn menyebut bahwa khusyu’ yang hakiki lahir dari hati yang tunduk dan merasa hina di hadapan kebesaran Allah. Hati semacam ini tidak mungkin hadir bila masih penuh dengan keinginan duniawi dan hasrat akan pujian manusia.
Secara psikologis, zuhud memberi efek menenangkan. Sebuah penelitian dalam Journal of Happiness Studies menunjukkan bahwa hidup sederhana yang disengaja (voluntary simplicity) berkorelasi positif dengan tingkat kebahagiaan dan kesehatan mental (Brown & Kasser, 2005). Ini menunjukkan bahwa sikap zuhud membawa ketenangan yang sejati, bukan tekanan.
Sementara itu, khusyu’ dalam ibadah diketahui dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan emosional. Kajian neurologi oleh Newberg dan Waldman (2009) menunjukkan bahwa meditasi spiritual yang intens dapat meningkatkan aktivitas pada bagian otak yang berperan dalam rasa damai dan kasih sayang. Dalam Islam, salat yang khusyu’ adalah bentuk tertinggi dari meditasi tersebut.
Zuhud bukan berarti anti terhadap harta atau kemajuan. Justru, orang yang zuhud bisa menjadi dermawan sejati. Ia tidak tertarik menumpuk kekayaan, namun siap menyalurkan hartanya untuk ummat. Lihatlah figur seperti Abdurrahman bin ‘Auf, yang zuhud namun kaya raya—dan kekayaannya digunakan untuk jihad dan dakwah.
Zuhud juga menumbuhkan keikhlasan, karena seseorang tidak lagi mengejar penilaian manusia, tetapi ridha Allah semata. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Pokok dari dunia adalah sabar, dan puncaknya adalah zuhud.”
Dalam praktik modern, zuhud bisa diwujudkan dalam pola hidup minimalis, menjauhi riba, dan menghindari gaya hidup konsumtif. Ini selaras dengan prinsip keberlanjutan (sustainability) yang digaungkan dunia hari ini. Bahkan konsep voluntary simplicity dianggap sebagai strategi melawan depresi akibat materialisme.
Mereka yang hidup dalam zuhud akan menemukan kebahagiaan yang tidak tergantung pada status sosial. Ia bisa tersenyum dalam kesendirian, dan menangis dalam doa tanpa merasa lemah. Ia tidak berambisi menjadi pusat perhatian, namun selalu ingin dekat dengan Allah.
Zuhud melahirkan ketenangan batin yang mendalam. Hati yang khusyu’ menjadi tempat turunnya sakinah dan rahmat. Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ
“Hamba-Ku tidak mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai selain apa yang telah Aku wajibkan atasnya.”
(HR. Bukhari, No. 6502)
Orang yang khusyu dan zuhud akan menjadi pribadi yang tenang, penyabar, dan tidak mudah terguncang oleh perubahan dunia. Ia melihat dunia sebagai ladang amal, bukan tempat tinggal abadi. Pandangannya tertuju pada akhirat, tempat kebahagiaan yang hakiki.
Maka, marilah kita belajar menikmati nikmatnya khusyu dalam zuhud. Ia bukan bentuk kelemahan, tetapi kekuatan sejati dari orang-orang pilihan. Mereka yang menjadikan akhirat sebagai orientasi hidup akan mendapati bahwa hati yang dekat dengan Allah adalah sumber nikmat terbesar yang tak bisa dibeli dengan dunia.
Daftar Pustaka
- Al-Bukhari. (n.d.). Shahih al-Bukhari (Hadis No. 6502).
- Al-Qur’an al-Karim. (n.d.). Surat Al-Hadid ayat 23.
- At-Tirmidzi. (n.d.). Sunan At-Tirmidzi.
- Brown, K. W., & Kasser, T. (2005). Are psychological and ecological well-being compatible? The role of values, mindfulness, and lifestyle. Journal of Social Issues, 61(4), 103–116. https://doi.org/10.1111/j.1540-4560.2005.00410.x
- Ibnu Majah. (n.d.). Sunan Ibnu Majah (Hadis No. 4102).
- Ibn Taymiyyah. (n.d.). Majmū’ al-Fatāwā (Vol. 10). Riyadh: Dar al-Wafa.
- Newberg, A. B., & Waldman, M. R. (2009). How God Changes Your Brain: Breakthrough Findings from a Leading Neuroscientist. Ballantine Books.
- Al-Ghazali. (n.d.). Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn. Beirut: Dar al-Ma’rifah.